ILMU KALAM
Pelaku Dosa Besar Menurut Perspektif Aliran Ilmu Kalam
Islam
Perbandingan Antar Aliran tentang Pelaku Dosa Besar
1.
Aliran Khawarij
a. Latar Belakang
Kemunculan Khawarij
Secara bahasa khawarij berasal
dari bahasa arab kharaja yang berarti keluar. Adapun secara istilah khawarij
adalah suatu sekte atau kelompok atau aliran yang keluar meninggalkan barisan
karena ketidak setujuannya dengan keputusan Ali bin Abi Thalib yang menerima arbitrase
(tahkim), dalam perang siffin pada tahun 37 H/648 M, dengan kelompok
bughot (pemberontak) Mawiyah bin Abi Sufyan perihal ersengketaan khilafah.
(Harun Nasution dalam Rozak Abdul dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, cet VI,
2011: 49).
Ketika terjadi perang siffin, yaitu
perang antara Sayidina Ali dan Muawiyah, kelompok Muawiyah mengangkat mushaf
dan mengajak Sayidina Ali untuk mengakhiri peperangan dengan jalan damai yaitu
perindungan. Pada awalnya Sayidina Ali hendak tidak mau menerima tawaran
tersebut, akan tetapi sebagian dari anak buah Sayidina Ali mendesak Sayidina
Ali untuk menerima jalan damai tersebut dan akhirnya Sayidina Ali menerima
jalan damai tersebut.
Tetapi sebagian dari anak buah Sayidina
Ali tidak menerima jalan damai tersebut. Mereka beralasan bahwa orang
yang mengambil jalan damai ketika berperang adalah orang yang ragu akan
pendiriannya, menurut mereka hukum Allah sudah nyata, siapa yang melawan Khalifah
yang sah harus diperangi. (Abbas Siradjuddin, I’tiqad Ahlusunnah Wal Jama’ah,
cet 8, 2008: 167)
Ketika anak buah Sayidina Ali yang
tidak menerima jalan damai merasa bahwa Sayidina Ali tidak mau meninggalkan
pendiriannya, akhirnya mereka meninggalkan Sayidina Ali dan pergi kesebuah
tempat yang bernama Harura’. Jumlah mereka dua belas ribu. Mereka mengangkat
seorang pemimpin yang bernama Abdullah bin Wahhab Al- Rasyidi dan menamakan
dirinya sebagai kaum khawarij, yaitu orang-orang yang keluar pergi
perang untuk menegakan kebenaran. (Abbas Siradjuddin, I’tiqad Ahlusunnah Wal
Jama’ah, cet 8, 2008: 168).
b. Pemikiran Khawarij
tentang Pelaku Dosa Besar
Ciri yang menonojol dari aliran khawarij
adalah watak keras dalam menentukan suatu hukum. Hal ini disamping didukung
oleh watak kerasnya akibat kondisi geografis gurun pasir, juga dibangun atas
pemahaman tekstual atas dalil-dalil Al-Qur’an dan hadist, tak heran kalau
aliran ini memiliki pandangan keras pula tentang status pelaku dosa besar.
(Rozak Abdul dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, cet VI, 2011: 133)
Pada mulanya aliran khawarij
hanya ada satu, akan tetai sesuai dengan perkembangan zaman aliran ini terbagi menjadi beberapa sekte, dan
setiap sekte memahami pelaku dosa besar berbeda antara satu dan yang
lainnya.
1) Al-Muhakimah
Menurut sekte Al-Muhakimah, bahwa
orang yang melakukan dosa besar disebut kafir. Contohnya seperti orang yang
melkukan zina dan membunuh, orang tersebut dihukumi kafir. (Mustapa, Mazhab-mazhab
Ilmu Kalam dari Klasik hinga Modern, 2011: 78 )
2) Al-Azariqoh
Sekte ini sikapnya lebih radikal bila
dibandingkan dengan Al-Muhakimah, mereka tidak memakai istilah kafir
tetapi istilah musyrik. (Nasution Harun, Teologi Islam, Aliran-aliran,
Sejarah, Analisa Perbandingan, 1996: 14)
3) Al-Ajaridah
Golongan ini mempunyai faham
puritanisme. Paham mereka tentang berhijrah bukanlah kewajiban seperti yang
diajarkan oleh na’if dan najdah tetapi hanya merupakan kebaikan dan tidak
dihukumi kafir. (Mustapa, Mazhab-mazhab Ilmu Kalam dari Klasik hinga Modern,
2011: 78-79)
4) As-Sufriyah
Menurut golongan ini kafir itu ada dua,
yaitu kufur nikmat dan kufur Rubbiyah. Oleh karena itu, kafir tidak
selamnya harus berarti keluar dari Islam. (Mustapa. Mazhab-mazhab Ilmu Kalam
dari Klasik hinga Modern, 2011: 79)
5) Al-Ibadiyah
Menurut golongan ini orang mukmin yang
telah melakukan dosa besar maka orang tersebut dihukumi kafir. (Mustapa, Mazhab-mazhab
Ilmu Kalam dari Klasik hinga Modern, 2011: 79)
2.
Aliran Murji’ah
a. Latar Belakang
Kemunculan Murji’ah
Aliran Murji’ah lahir pada abad
ke satu Hijriyah setelah terjadi pertikaian antara kaum Syi’ah, kaum Khawarij,
kaum Muawiyah dan sebagian pengikut Sayidina Ali dalam perang Siffin.
Mereka saling menyalahkan satu sama lain dan saling mengkafirkan satu sama
lain. Pada situasi yang gawat itulah muncul suatu golongan yang mana mereka
menjauhi pertikaian dan mereka menamakan dirinya sebagai kaum Murji’ah.
(Abbas Siradjuddin, I’tiqad Ahlusunnah Wal Jama’ah, cet 8, 2008: 182).
Secara etimologis
kata khawarij berasal dari bahasa arab, yaitu kharaja yang
berarti keluar, muncul, timbul atau memberontak. Adapun yang dimaksud Khawarij
dalam terminologi adalah suatu sekte atau kelompok pengikut Ali bin Abi
Thalib yang keluar meninggalkan barisan karena tidak kesepakatan terhadap
keputusan ali yang menerima arbitrase (tahkim) dalam perang
siffin dengan kaum bughot (pemberontak) Muawiyah bin Abi Sufyan dalam
hal persengketaan khilafah.
b. Pemikiran Murji’ah
tentang Pelaku Dosa Besar
Pandangan aliran Murji’ah
tentang pelaku dosa besar dapat ditelusuri dari definisi iman mereka. Dalam hal
ini terdapat perbedaan pendadapat atara Murji’ah yang ekstrim dan Murji’ah
yang moderat.
Menurut Murji’ah yang ekstrim,
keimanan seseorang terletak dalam hati. Adapun ucapan dan perbuatan tidak
selamanya merupakan refleksi dalam hati. Oleh karena itu, segala ucapan dan
perbuatan manusia yang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti telah
menggeser atau merusak keimanannya, bahkan keimanannya masih sempurna dimata
Tuhan. (Al-Asy’ari dalam Rozak Abdul dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, cet
VI, 2011: 135-136).
Sedangkan menurut Murji’ah yang
moderat berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir.
Meskipun disiksa dalam neraka mereka tidak akan kekal dalam neraka, tergantung
ukuran dosa yang mereka lakukan. Masih ada kemungkinan bahwa Tuhan akan
mengampuni dosa-dosanya, sehingga ia dibebaskan dari siksaan neraka. (Mustapa, Mazhab-mazhab
Ilmu Kalam dari Klasik hinga Modern, 2011: 79)
3.
Aliran Mu’tazilah
a. Latar Belakang
Kemunculan Mu’tazilah
Mu’tzilah muncul dikota
Bashrah, Iraq pada abad kedua hijriyah, yaitu antara tahun 105-110 H, tepatnya
pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan Khalifah Hisyam Bin
Abdul Malik. Kemunculan Mu’tazilah dipelopori oleh perbedaan pendapat
antara guru dan murid, yaitu Imam Hasan Al-Bashri dan Wasil Ibn Atha’. Menurut
Imam Hasan Al-Bashri, guru Wasil Ibn Atha’ mukmin yang melakukan dosa
besar masih disebut mukmin. Sedangkan menurut Wasil Ibn Atha’, murid
Imam Hasan Bashri mukmin yang melakukan dosa besar tidak disebut mukmin
dan kafir tetapi disebut fasiq. Inilah awal mula kemunculan Mu’tazilah
dikarenakan perselisihan antara guru dan murid dan akhirnya golongan Mu’tazilah
dinisbatkan kepadanya. (Mustapa, Mazhab-mazhab Ilmu Kalam dari Klasik hinga
Modern, 2011: 39)
Aliran Mu’tazilah kemudian
berkembang menjadi sebuah aliran teologi rasional, akan tetapi sesuai dengan
situasi dan perkembangan saat itu, pemikiran-pemikiran Mu’tazilah
merambah kelapangan siyasah, hal ini dapat dilihat dari tokoh mereka Abd
Al-Jabbar yang berbicara tentang khalifah, ia berpandangan bahwa
pembentukan lembaga khalifah bukanlah kewajiban berdasarkan Syar’i
karena nash tidak tegas mempermasalahkan untuk membentuk negara dan
suyuti menambahkan dalam karangannya, melainkan atas dasar pertimbangan rasio
dan tuntutan muamalah manusia. (Pulungan Suyuti, Fiqih Siyasah, Ajaran
Sejarah dan Pemikiran, 1997: 209).
b. Pemikiran Mu’tazilah
tentang Pelaku Dosa Besar
Berbeda dengan aliran Khawarij
yang mengkafirkan pelaku dosa besar dan Murji’ah yang memelihara
keimanan pelaku dosa besar, Mu’tazilah tidak menentukan setatus dan
predikat yang pasti bagi pelaku dosa besar, apakah ia tetap mukmin atau kafir,
kecuali dengan sebutan yang sangat terkenal yaitu, al-manzilah baina
al-manzilataini. Setiap pelaku dosa besar menurut Mu’tazilah berada
diposisi tengah diantara posisi mukmin dan posisi kafir. Jika
pelakunya meninggal dunia dan belum sempat bertaubat maka ia akan dimasukan
neraka selama-lamanya. Walaupun demikian, siksaan yang diterimanya lebih ringan
daripada siksaan orang kafir. (Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal,
tt: 26)
Dalam perkembangannya, beberapa tokoh Mu’tazilah,
seperti Washil bin Atha’ dan Amr bin Ubaid memperjelas sebutan bagi pelaku dosa
besar dengan sebutan fasiq yang bukan mukmin dan bukan kafir.
Mengenai perbuatan apa saja yang
dikategorikan sebagai dosa besar, aliran Mu’tazilah merumuskan secara
lebih konseptual ketimbang aliran Khawarij. Yang dimaksud dosa besar
menurut pandangan Mu’tazilah adalah segala perbuatan yang ancamannya
disebutkan secara jelas dalam Al-Qur’an, sedangkan dosa kecil adalah
sebaliknya, yaitu segala ketidak patuhan yang ancamannya tidak tegas dalam
Al-Qur’an.
4.
Aliran Asy’ariyah
a. Latar Belakang
Kemunculan Asy’ariyah
Nama aliran Asy’ariyah adalah
dinisbatkan kepada nama pendirinya yaitu Abdul Hasan Ali bin Isma’il Al-Asy’ari
keturunan dari Abu Musa Al-Asy’ari. (Ahmada Hanafi dalam Bashori dan Mulyono,
Studi Ilmu Tuhid/ Kalam, 2010: 133)
Al-Asy’ari ketika umur sepuluh sampai
empat puluh tahun berguru kepada tokoh Mu’tazilah yang bernama
Al-Jubba’i. Al-Asy’ari pada mulanya pengikut setia Mu’tazilah, tetapi
karena tidak puas terhadap konsepsi aliran Mu’tazilah tentang “al-aslah
wa al-aslah” dalam arti Tuhan wajib mewujudkan yang baik bahkan terbaik
untuk kemaslahatan manusia, akhirnya Al-Asy’ari keluar dari Mu’tazilah dan
membuat suatu aliran yang dinamakan Asy’ariyah. (Bashori dan Mulyono, Studi
Ilmu Tuhid/ Kalam, 2010: 133)
Menurut Ahmad Mahmud Subhi perasaan syak
dalam diri Al-Asy’ari yang kemudian mendorongnya untuk meninggalkan paham Mu’tazilah
ialah karena Al-Asy’ari menganut madzhab Syafi’i, yang konsep teologinya
berlainan dengan ajaran-ajaran Mu’tazilah. Sebagaimana dalam pernyataan
Imam Syafi’i bahwa Al-Qur’an tidak diciptakan akan tetapi bersifat qodim
dan Tuhan dapat dilihat di akhir nanti. Disamping itu Asy’ari melihat adanya
perpecahan dalam Islam yang dapat melemahkan mereka, kalau tidak segera
diakhiri. Dan beliau sangat khawatir kalau Al-Qur’an dan hadist-hadist Nabi
menjadi korban faham-faham aliran Mu’tazilah yang menurut pendapatnya
itu tidak dibenarkan karena didasarkan atas pemujaan akal pikiran.
b. Pemikiran Asy’ariyah
tentang Pelaku Dosa Besar
Menurut Asy’ariyah tentang
pelaku dosa besar sebagai wakil dari Ahl Sunnah, berpendapat bahwa orang
yang melakukan dosa besar selama orang tersebut mukmin maka orang
tersebut tidak dihukumi kafir. Menurut Asy’ariyah mereka masih
disebut sebagai orang iman dengan keimanan yang mereka miliki sekalipun mereka
melakukan dosa besar. Akan tetapi, apabila dosa besar tersebut dilakukannya
dengan meyakini bahwa dosa besar tersebut dibolehkan dan tidak meyakini
kekharamannya, maka orang tersebut telah kafir. (Al-Asy’ari, Al-Ibanah
An-Nushul Ad-Diyannah, tt: 10)
Adapun balasan bagi mereka yang
melakukan dosa besar, itu tergantung kehendak Allah swt. Allah mungkin saja
menyiksa orang tersebut dan mungkin juga mengampuni atas dosa yang telah
dilakukannya. Akan tetapi apabila pelaku dosa besar tersebut tidak diampuni dan
disiksa dalam neraka, orang tersebut tidak akan kekaldalam neraka seperti orang
kafir.
5.
Aliran Maturidiyah
a. Latar Belakang
Kemunculan Maturidiyah
Munculnya aliran teolologi Al-Asy’ariyah
dianggap sebagai reaksi terhadap aliran Mu’tazilah. Al-Maturidi yang
merupakan tokoh aliran Asy’ariyah memunculkan pemikiran yang berbeda
dengan pemikiran Al-Asy’ariyah. Pemikiran Al-Maturidi ini dinilai lebih
dekat dengan Mu’tazilah karena memberikan daya yang besar kepada akal
setingkat dibawah Mu’tazilah. Pemikiran tersebut kemudian dikenal dengan
aliran Maturudiyah Samarkand. Adanya perbedaan antar teologi Asy’ariyah
dan Maturidiyah meskipun keduanya timbul sebagai reaksi terhadap aliran Mu’tazilah
karena Al-Maturidi adalah pengikut Abu Hanifah yang banyak menggunakan rasio
dalam pandangan keagamaan. (Nasution Harun dalam Amin Nurdin dan Afifi Fauzi
Abbas, Sejarah Pemikiran Islam, cet I, 2012: 149)
Dibandingkan dengan Mu’tazilah
dan Asy’aryah, Maturidiyah dapat dikatakan mengambil jalan tengah
antara keduanya. Namun dalam perkembangan-perkembangannya, antara Maturidiyah
Samarkand yang merupakan jalan tengah antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah,
masih dapat diambil jalan tengahnya lagi antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah
oleh seorang tokoh Maturidiyah yang bernama Al-Bazdawi dan Bukhara.
Abdul Aziz Dahlan lebih cenderung menamakan pemikiran Al-Bazdawi tersebut
dengan nama Al-Maturidiyah. Namun dalam istilah yang populer untuk
aliran ini adalah Al-Maturidiyah Bukhara yang mana aliran ini cenderung
lebih dekat dengan pendapat-pendapat Asy’ariyah. Sedangkan Maturidiyah
Samarkand cenderung lebih dekat dengan pendapat-pendapat Mu’tazilah.
b. Pemikiran Maturidiyah
tentang Pelaku Dosa Besar
Dalam masalah Iman, aliran Maturidiyah
Samarkand berpendapat bahwa iman adalah tashdiq bi al-qalb, bukan
semata-mata iqrar bi al-lisan. Pengertian ini dikemukakan oleh
Al-Maturidi sebagai bantahan terhadap Al-Karamiyah, salah satu sub sekte
Mur’jiah, ia beragumentasi dengan ayat Alqur’an Al-Hujurat ayat
empat belas.
Al-Maturidi memahami ayat tersebut
sebagai suatu penegasan bahwa keimanan itu tidak cukup hanya dengan perkataan
semata, tanpa diimani pula oleh kalbu. Apa yang diucapkan oleh lidah dalam
bentuk pernyataan iman, menjadi batal bila hati tidak mengakui ucapan lidah.
(Abu Mansur Al-Maturidi, Kitab At-Tauhid, Tahqiq oleh Fathullah khalif,
1979: 373). Al-maturidi tidak berhenti sampai disitu. Menurutnya tashdiq,
seperti yang dipahami diatas, harus diperoleh dari ma’rifat. Tashdiq
hasil dari ma’rifat ini didapatkan melalui penalaran akal, bukan sekedar
berdasarkan wahyu.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berikan komentar yang membangun...